Namanya
Debur Ombak Selatan.
Oke,
orangtua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan?
Hei! Kau
percaya ada anak bernama seperti itu?
Lihat
saja, kuno, kampungan, padahal nama adalah sebuah pengharapan, impian, dan apa
yang hendak dicapai di masa depan nanti. Orang tuanya mungkin sewaktu sembilan
bulan di beri kesempatan, tidak membaca buku tentang nama bayi dan artinya.
Hei! Itu kan
katamu. Kataku berbeda, karena aku yang mengalami kisahnya.
Aku yang mencintainya dalam diam dan gelap yang meremang. Aku yang menyayanginya selama 12 jam tiap pagi dan malam dan berulang-ulang terus setiap hari. Aku yang merindunya kala dekut burung camar mati semua gara-gara polusi, dan tidak tersampaikanlah pesanku padanya.
Padahal,
aku masih saja terus menunggunya, di pinggir pantai yang pasir putihnya halus
menyentuh kulitku sampai batas pergelangan kaki. Aku yang rela dipanggang
matahari hingga kulitku memanas dan menghitam.
“Selamat
pagi, Laut.”
Air
biru yang ada di hadapanku masih tetap tenang, padahal setiap hari kusapa dan
kuberi doa untuknya dan juga apa yang sedang berjalan di atasnya.
“Apakah
ada pesan dari sang Ombak?”
Dengan
terhuyung-huyung, sebuah pesan yang dibungkus rapi dalam botol kecil berwarna
biru langit meragu di kejauhan, mau tak mau datang ke tepian. Aku masih
menunggu dengan cemas, apakah botol itu sampai atau tidak.
Setelah
sekian hari aku menunggu, duduk karena kelelahan, minum air laut karena
kehausan, makan garam karena benar-benar kelaparan. Botol itu sampai dengan
beberapa titir air laut setiap hari memandikannya.
Kubuka
sebuah gabus berwarna krem yang menutupi botol tersebut, lalu dengan satu
tarikan napas yang panjang, kuambil surat yang ada di dalamnya dan membacanya
dengan lamat-lamat.
Untuk perempuanku di kejauhan.
Kau bisa pergi sekarang, mungkin aku tidak akan kembali lagi.
Kulihat, awan kelabu dan petir-petir yang menggelegar di depan sana.
Kawanku, ombak yang tak bisa berbicara menggulung-gulung setinggi dua meter,
kapalku terombang-ambing, dan navigatorku beserta awak lainnya dengan tega
mengkhianatiku dan pergi membawa sekoci yang cuma satu.
Aku hampir-hampir putus asa.
Tapi mengingatmu, seperti cahaya dalam gulita, aku akan terus berjuang
melawan badai ini. Demi menemukanmu yang sedang menanti dengan muka resah.
Kau boleh pergi sekarang, berisitirahat sejenak di rumahmu, tidur di
kasur yang enak sembari menyiapkan segala perlengkapan lamaran.
Aku akan datang dalam beberapa hari dan langsung saja kita ucapkan janji
suci.
Tunggu aku kalau kau mau.
Itupun jika aku masih selamat, doakan saja, karena aku tidak pernah bisa
meramal masa depan.
Salam.
Debur Ombak Selatan.
Aku
pulang ke rumah, menyiapkan segala hal yang berbau lamaran. Seminggu kemudian
setelah persiapan selesai, aku menunggumu dengan gaun putih yang pasti kamu
suka. Dengan senyum yang mengembang, kurasa kau beberapa hari lagi akan pulang.
Di kejauhan, Debur Ombak Selatan
benar-benar dilalap habis dengan sang temannya, ombak yang bergeming, petir menghantam kapalnya hingga karam di sebuah pulau antah-berantah, awan kelabu beenar-benar menghantarkannya pulang, bukan ke rumah, melainkan ke surga
Aku
masih menunggumu, dalam pias matahari yang membuat pipiku merona merah, dalam hitungan hari yang masih saja sama seperti sebelumnya, apakah kita masih bisa bertemu dan bahagia dengan janji kita?
***
111 menit telah selesai diputar.
Aku
sesenggukan, menghapus beberapa kali bulir air mata yang keluar dari pelupuk
yang memerah.
“Yailah
bro, cowok kok nangis,” ucap sahabat perempuanku yang menangis lebih hebat
lagi.
Aku
berdiri, berjalan ke luar bioskop diikuti sahabatku, dan ketika mataku melihat
sekeliling. Semua orang benar-benar diperah air matanya.
Film yang mengharukan, batinku
tak percaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar