Denganmu, aku jadi orang paling
beruntung.
Denganmu, semua tidak sia-sia.
Denganmu, tawa menjadi lebih
nyaring dari biasanya.
Denganmu, senyum menjadi lebih
mengembang dari biasanya.
Denganmu, aku jadi tidak biasa.
Denganmu, waktu begitu terasa
cepat.
Denganmu, makanan apapun jadi enak.
Denganmu…
Denganmu, aku berani bermimpi.
Denganmu… aku bahagia.
Tapi, itu dulu.
Aku
pernah menyalakan lilin dan memberikannya untukmu berjalan. Jauh sekali sampai
kamu tidak lagi terlihat, dan membawa lilin tersebut. Jauh… Jauh sekali.
Na’as,
aku hanya punya satu lilin, dan hari pun mulai gelap, sementara tidak ada yang
aku kenal disini. Aku sendirian. Tanpa lilin, tanpamu yang aku tahu tak lagi
pernah kembali. Padahal, Aku hanya butuh satu: ketika aku memberimu lilin saat
gelap, kamu pun juga akan melakukan hal itu. Tapi, tapi dan hanya tapi, kamu
tidak seperti harapanku.
Pada
akhirnya.
Kamu terus
berjalan. Lilin tadi telah enyah. Aku tahu, hari sudah terang, dan kau buang
lilin itu, setelah tak ada gunanya lagi. Lilin tadi tertidur, tanpa daya
tentunya. Dan aku, tetap sendirian, meski hari sudah terang. Aku merasa… ini
masih gelap.
Denganmu,
aku merasa tidak dibutuhkan.
Denganmu,
aku merasa kamu selalu berontak.
Denganmu,
aku merasa kebosanan telah banyak menyelimuti kita.
Denganmu,
aku selalu bertanya, tanpa ada jawaban.
Denganmu,
yang pasti menjadi tidak pasti.
Denganmu,
gelisah dan resah akrab membunuh kita perlahan.
Denganmu,
hatiku jadi begitu tersamar.
Denganmu, aku
merasa… tidak sama lagi.
Itu
sekarang.
Lalu,
apakah pecundang yang namanya hanya tertera pada akta kelahiran bisa bahagia?
Tentu iya. Tapi, aku selalu merasa ada yang kurang, entah apa, entah itu karena
kamu, atau aku yang berlebihan.
Persetan, aku benar-benar
dipecundangi.
Aku
bagai bedebah yang benar-benar bodoh.
Ah
sudahlah…
Ini
sekarang.
Bukan dulu.
Bukankah, kebahagiaan itu banyak?
Lalu, biarkan pecundang ini
membuktikan kalau ia bisa bahagia, tanpa kamu tentunya.
Nanti.
Suatu masa
yang akan datang.
Kamu akan lihat aku tertawa.
Kamu
akan lihat aku tersenyum.
Kamu
akan lihat aku begitu riang.
Jauh…
Jauh lebih hebat dari dahulu.
Kamu
akan lihat, bahwa aku bukan lagi pecundang.
Tapi
tenang.
Kita tidak
akan pernah saling membenci. Aku bisa pastikan, TIDAK AKAN PERNAH.
Kita
hanyalah manusia-manusia yang penuh kesalahan dan kebodohan dengan kesendirian.
Jadi, aku tidak mau membuat diriku makin bodoh dengan banyak menjauhi
orang-orang, termasuk kamu.
Aku
hanyalah satu kata dari banyaknya kata yang menjuntai sampai halamannya tak
terhingga. Halaman-halaman itu tidak akan lengkap jika satu kata saja hilang. Jadi,
walaupun kamu telah pergi, aku tetap menjadikanmu kata-kata itu, tentunya dalam
artian lain yang sudah tidak lagi digaris bawahi ataupun kata yang dilihat
berkali-kali.
Entah.
Beberapa
tahun lagi, kita sudah sama-sama saling menjauh. Kita lupa, lupa dengan masa
lalu. Lupa bahwa kita pernah menyakiti ataupun disakiti. Tapi, terlepas dari
itu semua, ada saja hal yang akan membuatmu ingat kembali. Semoga, semoga saja
kalau masa itu datang. Aku masih terekam di memorimu. Anggap saja, itu sebuah
kenangan, atau kalau kamu mengganggapnya sampah, itu terserah.
Pada
kalimat-kalimat yang begitu bodoh.
Aku minta
maaf sepenuhnya.
End.
Tidak perlu membenci dan melupakan karena itu merupakan bagian dari proses hidup yang memperkaya jiwa.
BalasHapusCakep mba Lina XD
Hapusmantap banget kata2nya gan, bagus nih aku pakai belajar nulis dengan kalimat yang indah :D
BalasHapusini pengalaman pribadi ya?? ato kisah orang lain? kayaknya dalem banget...
oiya gan, aku followers #136, jgn lupa follback ya... ^^b
salam blogger...
Terima kasih sobat.
HapusHahahahaha, pengalaman akan berbicara lebih banyak bukan? :))
Kata tiap kata bikin merinding, ajarin dong kak biar bisa nulis kaya gini
BalasHapusEnggak kak.
HapusItu saya juga lagi belajar. :))