“Aku akan pulang, kamu jangan
khawatir.” Bukankah begitu janjimu? Oke,
aku terlanjur percaya padamu, dan membiarkan kamu pergi.
Keesokan
harinya, kamu berjalan pelan-pelan meninggalkanku, memandangmu lamat-lamat hingga
perlahan memudar. Kamu akan pulang kan? Batinku.
Rindu
menyesap hangat kala angin pagi menggelitik tubuh ini. Ada sesuatu yang hilang
setiap hari. Ya, siapa lagi kalau bukan kehadiranmu. Kamu pergi dengan satu
alasan: mimpi. Dan aku tetap tinggal karena satu asalan: kamu.
Berhari-hari
telah berlalu, pohon sycamore di
sudut kota yang dulu kita jadikan tempat berteduh bersama sudah ditebang. Ayunan-ayunan
dan perosotan kini telah semakin berkarat, seperti pikiranku yang semakin
sekarat. Matahari tak lagi sehangat dulu, polusi kian menggagapkan napasku. Mau
sampai kapan kamu pergi?
Aku
masih menunggumu lebih lama lagi, menikmati teh pahit setiap paginya, dan jus
hambar setiap malamnya. Aku masih terdiam, penuh harapan bahwa kamu tidak
mengingkari janji. Di kota yang buruk ini, di sini aku masih menggantungkan
impianku: bersamamu. Aku telah rela menguapkan impian-impianku yang lain hanya
untumu.
Hujan turun.
Matahari menyengat.
Bulan berpijar.
Bintang kosong, tak cerah.
Daun berguguran.
Bunga kembali bermekaran.
Aku bukannya lelah menunggu, tapi
entah mengapa, ini hanya pekerjaan yang sia-sia. Namun, aku tak kunjung berdiri
dari tempat dudukku, menunggu sosok perempuan berambut hitam bergelombang
datang dengan senyuman simpulnya.
Kemanakah
perginya kamu?
Kemanakah?
Menunggu yang tak pasti
BalasHapushanya mengiris hati
Betul dan setuju banget :(
Hapus