Lelaki sial itu pernah menanam sebuah harapan. Tapi
sayang, harapan itu tak pernah tumbuh.
Lelaki
sial itu memang bangun setiap hari, di kasur yang sama, yang setiap hari
menjadi hal yang pertama dilihat sebelum beraktifitas dan terakhir dilihat
sebelum tidur. Berantakan, ia tak pernah dengan sengaja merapikannya. Dua
setengah tahun ia tinggal disitu, sendirian, hanya ditemani sebuah harapan yang
ia taruh kepada perempuan bernama Re.
Ia terus menyirami harapan itu,
terus berharap, tak pernah lelah, meski pada akhirnya harapan yang sebesar biji
leci itu tak pernah tumbuh 1 senti pun.
Lelaki
sial itu terus beraktifitas, tak pernah lelah, setidaknya untuk sekarang. Sebelum
semuanya berubah menjadi lebih sial lagi. Waktu beranjak pergi, tak mengenal
teman atau lawan, ia tak peduli. Lelaki sial itu semakin menjauh dari Re,
tepatnya Re yang menjauh dari lelaki sial itu. Katanya, kebahagiaan yang Re cari enggak ditemuin di lelaki sial itu.
Ia tak mematikan harapannya, meski obor telah redup, setidaknya ia masih punya
lilin yang masih nyala..
Lelaki sial itu masih berharap
tanamannya tumbuh, setiap hari ditengoknya harapan itu, berharap ada
perkembangan. Cih, nyatanya tidak berguna.
Lelaki
sial itu telah pulang kerumah. Kembali, kembali, dan terus, kembali, di kamar
sempit yang hanya terdapat 1 buah kasur dan jendela itu. Ia mulai sadar, ia
harus membunuh tanamannya.. Setelah sekian banyak yang ia lalui, ia tak mau
terjebak pada harapan kosong yang hanya lalu-lalang tanpa jelas tujuannya.
Akhirnya,
di kasur yang ujung-ujungnya terdapat bekas-bekas air yang bersumber dari kedua
matanya. Lelaki sial itu tertidur, yang
katanya tanpa harapan lagi… Ia sudah rela Re pergi, namun tololnya… Ia tak
pernah mau menerima kenyataan. Ia tak pernah sudi Re hilang begitu saja.
Tragisnya,
lelaki sial itu sudah tidak tahu lagi
yang mana egois dan yang mana harapan. Naasnya, ia terus-menerus hidup dalam peleburan egois dan harapan… setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar