Minggu, 17 Agustus 2014

Aku Sibuk Memikirkan Indonesia, Hingga Lupa Memberi Judul


Logo disponsori oleh KDRI dan mas Herbanu.


Kita berulang tahun di umur yang jorok. #ifyouknowwhatimean. Hahahahaha.

Mari sambut matahari tujuh belas Agustus dengan semangat kebangsaan dan harapan perubahan untuk lebih baik dan lebih baik lagi.


WARNING: Cara terbaik menikmati tulisan ini adalah siapkan teh hangatmu, lagu Indonesia Raya atau Tanah Airku atau Bendera, dan baca pelan-pelan.


Hmmm. Mari kita ngomong-ngomong, tentang perubahan?

Sebenarnya waktu kita masih panjang. Orang-orang-sibuk-yang-padahal-dalam-kesibukannya-tidak-berarti-apa-apa-dan-kerjaannya-hanya-menghujat-bangsa-dan-bertanya-kapan-perubahan-tiba adalah salah satu organisasi terselubung yang wajib negara musnahkah setelah PKI dan Yahudi.

Kenapa? Mari tengok bangsa yang besar, bangsa yang makmur dan rakyatnya sejahtera.

Mereka telah berumur ratusan tahun, cukup tua untuk ukuran sebuah negara, dan mereka menikmati masa tuanya, meneruskan tampuk kepemimpinan kepada penerusnya yang tinggal ongkang-ongkang sambil minum kopi di pagi hari. Sebab itu, bersyukurlah kita masih punya usia yang terbilang ‘anak-anak’ untuk ukuran sebuah negara. Umur kita masih panjang. Namun siapa yang tahu kalau suatu saat, di umur yang masih belia kita sudah menjadi bangsa yang hebat? Everybody doesn’t know, siapa juga yang tahu kalau sampai umur ratusan tahun bangsa kita masih saja berkutat pada masalah bagaimana mencari pemimpin yang baik, dan mengurusi koruptor bajingan yang tidak punya akal. Yah, saya tahu, perubahan tidak semudah saya menulis tulisan sampah ini.

Ngomong-ngomong yang lain, misalnya kontribusi?

Kita sudah sangat hapal dengan kutipan dari Kennedy, blablabla pada dirimu sendiri, tapi tanyakan blablabla pada negara yang bisa membuatmu lebih keren kalau kau memakainya misal dalam pidato perpisahan sekolah atau semangat kemerdekaan. Kita ini terlalu pretensius, manusia yang sangat pintar berpura-pura, berbohong, dan menipu daya satu sama lain.

Sampah. Kita berpikir cara terbaik berarti pada negara adalah dengan cara menyumbangsihkan segalanya apa yang kita punya. Kita sibuk mencari caranya, sampai kita tidak lagi peduli pada orang-orang sekitar dan diri kita sendiri.

Mencari segala cara untuk terlihat sebagai orang yang paling berkontribusi terhadap negara adalah salah satu alter ego yang patut dibumihanguskan dan dikutuk selama dunia ini masih belum mati (sebenarnya sih sudah mati, kita dapat merasakannya sendiri)

Marilah kita berpikir maju, ini bukan tentang siapa yang paling besar berkontribusi pada negara, bukan tentang menyombongkan cara kita berarti bagi negara, misal dengan membangun jalan dengan tulisan ‘jalan ini dibangun oleh blablabla’, menyiapkan mega proyek bagi pembangunan negara yang ujung-ujungnya duitnya ditilep.

Percayalah, orang yang tiap hari memunguti sampah dan berjuang mencari nafkah untuk keluarganya jauh lebih mulia. Percayalah, orang yang tiap hari belajar ikhlas demi keberlangsungan pikiran negara adalah orang-orang yang patut disegani setelah orang-orang yang mengajari mereka. Percayalah, pemimpin yang tumbuh baik dengan rangsangan lingkungan dan orang-orang yang juga baik adalah pemimpin yang masih harus kita cari keberadaannya, ia tidak mau muncul bukan sebab ia tidak mau memimpin negara, ia tidak mau muncul (mungkin) belum merasa pantas menjadi pemimpin. Dan, masih banyak orang-orang berkelakuan sederhana yang menyumbang banyak arti pada negara.

Percayalah, mereka lebih berarti daripada orang-orang yang besar di pemerintahan tapi kerjaannya cuma tidur dan nonton film porno ketika rapat. Percayalah, mereka lebih berarti daripada orang-orang yang sibuk meributkan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Ngomong-ngomong hal lain lagi, misalnya tentang makna dari kemerdekaan?

Adalah kebebasan. Jadi, sudahkan kita bebas dari penjajah? Baik secara harfiah ataupun tidak. Mungkin, yang patut kita koreksi adalah apakah kita sudah terbebas dari hal-hal buruk yang terikat di diri kita?

Selamanya, mungkin kita tidak akan pernah mendapatkan kemerdekaan itu.

Tapi, mari kita sederhanakan. Apakah kebebasan cukup dengan kegembiraan? Bagi saya, itu sudah lebih dari cukup. Betapa banyak anak-anak kecil yang tinggal di pedalaman, dimana tidak ada ponsel pintar, tablet canggih, makan susah, hidup melarat, kepala kecil, perut besar, berak susah, tidur apalagi, hidup jangan ditanya tapi lebih bahagia daripada orang-orang yang tinggal dengan segala kemewahan.

Oh Yeah. AOKAOWKAOKWO..
Mereka masih memaknai kemerdekaan sampai saat ini meski hanya dengan tawa kecil akibat jatuh dari karungnya, ataupun memuntahkan kerupuknya karena terlalu antusias untuk dapat menang, ataupun menangis karena kelerengnya jatuh dari sendok, ataupun kelelahan karena berlari tanpa henti memindahkan batu, ataupun bersorak-sorak gembira meski pinang itu sulit dinaiki, dan ujung-ujungnya bahagia karena hadiahnya diberikan secara gratis. Bersyukurlah, jika kamu termasuk generasi anal-anak bahagia itu.

Apakah kegembiraan cukup itu saja? Jika kita masuk ke dalam konteks caranya, mungkin masih ada seribu satu cara lagi untuk bergembira atas kemerdekaan kita. Jauh di atas apa yang sudah saya tulis disini (yang entah benar atau salah memaknai kemerdekaan kita) , jauh di atas hal besar yang sudah kita lakukan:

Apakah kita sudah menyanyikan lagu Indonesia Raya hari ini, dan hormat sejenak kepada bendera merah putih?
Semangat Dirgahayu RI di Stadion R. Maladi, Solo.
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar