Pada Sabtu ketika jam lima telah
tampak matahari, mengintip kecil dibalik rumah-rumah minimalis, aku tersenyum
kecut. Aku tidak pernah menyangka, sabtu kemarin adalah sabtu terburukku selama
ini –mungkin bisa dibilang sabtu paling bajingan karena begitu saja menitipkan
rindu pada orang sepertiku yang setiap hari dijejali hal-hal mengenai ‘kembali’–
Setelah
lama menunda-nunda, akhirnya aku memilih film untuk menuntaskan pagiku. Dan
pilihannya jatuh kepada The Shawsank
Redemption. Dan film itu makin merepotkan pagiku, sebab dalam beberapa hari
ini, adalah harapan yang sempat begitu saja lari luntang-lantung.
Bagaimana
aku tidak bisa tidak menghujat film ini?
Dari
film ini, aku dititipkan rindu kepada sahabat, dan aku menyesal tidak bersua
mereka ketika kepergianku dahulu.
*
Lalu,
sebagai akibat dari film, aku berkunjung ke pusat buku, membaca sesekali lalu
duduk dan membaca penuh novel Dyah Rinni berjudul Beautiful Liar.
Dan
sialnya, merindu semakin menjadi-jadi hanya karena novel mbak Dee banyak
mengandung unsur mama-papa. Aku sadar, pulang ke rumah tidak semata-mata
bertemu orang yang paling banyak menemani waktu hidupku, tapi pulang juga
mungkin berarti berjaga-jaga, siapa yang tahu tentang kematian?
**
Yang patut kusyukuri dari sabtu kemarin, selain aku masih hidup adalah awan yang akhirnya menangis. Terang selama lebih dari lima puluh hari membuat seorang yang menggemari hujan tiba-tiba saja menjadi asing dengan kecintaannya. Dan keinginan untuk bersama hujan menjadi-jadi sebab tanpa diduga, kakiku melangkah begitu saja ke halaman rumah sementara dan menikmatinya, meski hujan hanya berbentuk rinai kecil, aku bersyukur. Hari itu aku kembali bisa melihat hujan, dan kerinduan serta kenangan yang membayang di antaranya.
Yang patut kusyukuri dari sabtu kemarin, selain aku masih hidup adalah awan yang akhirnya menangis. Terang selama lebih dari lima puluh hari membuat seorang yang menggemari hujan tiba-tiba saja menjadi asing dengan kecintaannya. Dan keinginan untuk bersama hujan menjadi-jadi sebab tanpa diduga, kakiku melangkah begitu saja ke halaman rumah sementara dan menikmatinya, meski hujan hanya berbentuk rinai kecil, aku bersyukur. Hari itu aku kembali bisa melihat hujan, dan kerinduan serta kenangan yang membayang di antaranya.
*
NB: Dan aku baru tahu bagaimana
rasanya berlebaran seorang diri: seperti kau tengah berlari mengejar matahari,
kau akan tetap kepanasan meski matahari tidak dapat kau rengkuh, kau akan tetap
kelelahan meski sebanyak apapun air yang kau minum, kau akan tetap tak tahu
jalan kembali karena kau terlalu banyak melangkah. Ya seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar