Mari kita
bermelankolis~
*
Hari
ini, selepas rapat yang berakhir tepat ketika adzan maghrib tiba, mengurusi
tetek bengek persoalan mengenai pekan futsal yang akan diadakan kampusku dua
minggu lagi. Lantas aku dan tiga teman lainnya mengenyam mie ayam yang telah
datang dua jam silam. Saat itu, mie tersebut telah mengembang dan tidak terasa
hari sudah beranjak malam. Satu teman kami pulang, izin membuat laporan –dan
begitulah kegiatan kami sehari-hari, kalau kau bilang itu membosankan, jangan
salah, membuat laporan seperti menunggu tupai jatuh dari lompatannya. Sangat jenuh
bukan? Maksudku, seberapa sering ada orang yang mengalami keempirisan dari
tupai yang jatuh dari lompatannya?–.
Kami
bertiga; aku, Diki dan Nandini, yang berasal dari tiga pulau berbeda melepas
lelah dan bersantai-santai di ruang BEM yang biasanya di hari-hari kerja sangat
hingar-bingar dan jauh dari kata tenteram. Kami bertiga berbicara ngalor-ngidul tak tahu maksud, awal mula
kami memang agak sok tahu berbicara mengenai politik kampus, tentang siapa yang
akan menjabat gubernur, tentang siapa yang akan menyaingi si calon A dan apa
jadinya jika si calon A menang telak dalam pemihan mahasiswa. Namun, bahan
omongan seperti itu tidak berlangsung lama, dan hanya menimbulkan dosa.
Lalu,
kami mulai berbicara mengenai cinta. Oke, malam tadi memang agak gerimis, dan
langit Solo akhir-akhir ini sepertinya tengah dilanda peperangan dan aku
membayangkan, bahwa perempuan-perempuan di langit sana tengah menangis melihat
kekasihnya yang kalah di medan perang. Dan sepertinya, perang tersebut memakan
banyak korban.
Kami
berbicara mengenai cinta sekarang dan cinta yang lalu. Tentu akan sangat rumit
membincangkan cinta berdua orang, tapi kondisinya, kami bertiga dan itu formasi
yang sangat baik untuk colong cerita dan mengenang-ngenang. Tapi, bahan
tersebut juga tidak terlalu lama. Selain karena diantara kami ada yang pacaran
–dan itu membuat bahan pembicaraan menjadi usang–. Aku dan Nandini juga
berpegang teguh bahwa kebanggan yang dimiliki bagi seorang jomblo adalah
kesendiriannya. Dan kesendirian vs kebersamaan menjadi perdebatan, yang
lagi-lagi, berujung dosa.
Setelah
adzan isya, kami mulai bicara panjang lebar mengenai satu topik yang tidak
pernah basi untuk diceritakan.
Awal
mula aku bicara, “Gini deh, kamu ngerasa kan gimana bedanya waktu kuliah dan
SMA?”
Nandini
yang berasal dari Lampung, dan sangat mengidolakan Coboy Junior berkata dengan
suara menghentak-hentak, “BANGET. Udah beda banget, Yats.”
Aku
tersenyum dan bilang dengan agak murung, “Makanya, sekarang gini aja, berapa
banyak kemarin kamu diucapin ulang tahun? Aku aja nih, tahun kemarin segala
hape, twitter, apalah itu rame banget. Di sekolah apalagi. Lah sekarang?”
Diki
si Anak Banjarmasin yang punya pacar itu langsung nyahut, “Apa sekarang mah.”
Lantas
aku berkata dengan lirih, “Mau diapain, kan makin tua ya makin kesepian.”
**
Jam
delapan malam kami pulang, dan dalam perjalanan, aku berpikir bahwa betapa masa
putih-abu-abu adalah masa-masa terbaik dan lihatlah, betapa banyak cerita yang
masa itu ciptakan? Kalau hanya ingin membanding-bandingkan kuliah dan sekolah,
peduli setan mengenai keuntungan dan kerugian, banyak yang berubah. Tentu.
Kupikir, hanya orang gila dan P3 (Pelajar Pulang Pergi) yang menyangkalnya.
Contoh kecilnya adalah tempat, ketika sekolah, betapa terbatasnya tempat
bermain –kasus ini tidak tepat bagi orang-orang gaul yang banyak duit–,
beberapa dari kita sibuk ketawa-ketiwi, berghibah¸
melecehkan guru, menyusun rencana mengerjai teman, curhat colongan, bolos pelajaran,
menghindari uang kas, dan hal-hal tolol lainnya yang seperti kaset tip, sanggup
diputar berulang-ulang dengan volume kelucuan yang tidak pernah surut. Beberapa
dari kita semakin tidak jelas saja ketika memanfaatkan wifi sambil
tidur-tiduran dan bercerita mengenai mimpi –karena bagi anak sekolah, mimpi
adalah sesuatu yang sulit dicerna, lebih gampang mencerna makanan gratis
sepertinya–.
Beranjak
kuliah, tempat adalah sesuatu yang khusus, bukan mahasiswa kalau tidak
nongkrong di kafe, atau tempat-tempat yang memasang gambar jaringan dan
bertuliskan free wifi.
Itu
hanya contoh kecilnya saja. Tak apa, selama merantau aku tahu,
membanding-bandingkan menjadi tidak asik ketika didengar oleh orang lain, itu
hanya membuat kita dilihat sebagai manusia yang kurang bersyukur –lalu aku apa
sepanjang tulisan ini?–
Seperti
kata temanku dulu yang pernah aku kirimi pesan bahwa kotanya sekarang tidak
lebih baik dari kotaku, ia membantah denan tegas, “Setiap kota punya ceritanya
masing-masing.”
Dan
aku sependapat, “Semua jenjang pendidikan mempunyai ceritanya masing-masing.”
Meskipun aku tahu, tidak mudah melupakan jenjang sekolah yang penuh ketololan
dan kedunguan yang ditanggung bersama-sama.
Sepertinya saya kenal tokoh kedua dan ketiga
BalasHapusSepertinya saya kenal tokoh kedua dan ketiga
BalasHapus