Senin, 27 April 2015

Sedikit Obrolan Mengenai Hal-hal yang Apabila Diceritakan Tak Akan Habis



            Mari kita bermelankolis~
*
Hari ini, selepas rapat yang berakhir tepat ketika adzan maghrib tiba, mengurusi tetek bengek persoalan mengenai pekan futsal yang akan diadakan kampusku dua minggu lagi. Lantas aku dan tiga teman lainnya mengenyam mie ayam yang telah datang dua jam silam. Saat itu, mie tersebut telah mengembang dan tidak terasa hari sudah beranjak malam. Satu teman kami pulang, izin membuat laporan –dan begitulah kegiatan kami sehari-hari, kalau kau bilang itu membosankan, jangan salah, membuat laporan seperti menunggu tupai jatuh dari lompatannya. Sangat jenuh bukan? Maksudku, seberapa sering ada orang yang mengalami keempirisan dari tupai yang jatuh dari lompatannya?–.

Kami bertiga; aku, Diki dan Nandini, yang berasal dari tiga pulau berbeda melepas lelah dan bersantai-santai di ruang BEM yang biasanya di hari-hari kerja sangat hingar-bingar dan jauh dari kata tenteram. Kami bertiga berbicara ngalor-ngidul tak tahu maksud, awal mula kami memang agak sok tahu berbicara mengenai politik kampus, tentang siapa yang akan menjabat gubernur, tentang siapa yang akan menyaingi si calon A dan apa jadinya jika si calon A menang telak dalam pemihan mahasiswa. Namun, bahan omongan seperti itu tidak berlangsung lama, dan hanya menimbulkan dosa.

Lalu, kami mulai berbicara mengenai cinta. Oke, malam tadi memang agak gerimis, dan langit Solo akhir-akhir ini sepertinya tengah dilanda peperangan dan aku membayangkan, bahwa perempuan-perempuan di langit sana tengah menangis melihat kekasihnya yang kalah di medan perang. Dan sepertinya, perang tersebut memakan banyak korban.

Kami berbicara mengenai cinta sekarang dan cinta yang lalu. Tentu akan sangat rumit membincangkan cinta berdua orang, tapi kondisinya, kami bertiga dan itu formasi yang sangat baik untuk colong cerita dan mengenang-ngenang. Tapi, bahan tersebut juga tidak terlalu lama. Selain karena diantara kami ada yang pacaran –dan itu membuat bahan pembicaraan menjadi usang–. Aku dan Nandini juga berpegang teguh bahwa kebanggan yang dimiliki bagi seorang jomblo adalah kesendiriannya. Dan kesendirian vs kebersamaan menjadi perdebatan, yang lagi-lagi, berujung dosa.

Setelah adzan isya, kami mulai bicara panjang lebar mengenai satu topik yang tidak pernah basi untuk diceritakan.

Awal mula aku bicara, “Gini deh, kamu ngerasa kan gimana bedanya waktu kuliah dan SMA?”

Nandini yang berasal dari Lampung, dan sangat mengidolakan Coboy Junior berkata dengan suara menghentak-hentak, “BANGET. Udah beda banget, Yats.”

Aku tersenyum dan bilang dengan agak murung, “Makanya, sekarang gini aja, berapa banyak kemarin kamu diucapin ulang tahun? Aku aja nih, tahun kemarin segala hape, twitter, apalah itu rame banget. Di sekolah apalagi. Lah sekarang?”

Diki si Anak Banjarmasin yang punya pacar itu langsung nyahut, “Apa sekarang mah.”

Lantas aku berkata dengan lirih, “Mau diapain, kan makin tua ya makin kesepian.”
            **

Jam delapan malam kami pulang, dan dalam perjalanan, aku berpikir bahwa betapa masa putih-abu-abu adalah masa-masa terbaik dan lihatlah, betapa banyak cerita yang masa itu ciptakan? Kalau hanya ingin membanding-bandingkan kuliah dan sekolah, peduli setan mengenai keuntungan dan kerugian, banyak yang berubah. Tentu. Kupikir, hanya orang gila dan P3 (Pelajar Pulang Pergi) yang menyangkalnya. Contoh kecilnya adalah tempat, ketika sekolah, betapa terbatasnya tempat bermain –kasus ini tidak tepat bagi orang-orang gaul yang banyak duit–, beberapa dari kita sibuk ketawa-ketiwi, berghibah¸ melecehkan guru, menyusun rencana mengerjai teman, curhat colongan, bolos pelajaran, menghindari uang kas, dan hal-hal tolol lainnya yang seperti kaset tip, sanggup diputar berulang-ulang dengan volume kelucuan yang tidak pernah surut. Beberapa dari kita semakin tidak jelas saja ketika memanfaatkan wifi sambil tidur-tiduran dan bercerita mengenai mimpi –karena bagi anak sekolah, mimpi adalah sesuatu yang sulit dicerna, lebih gampang mencerna makanan gratis sepertinya–.

Beranjak kuliah, tempat adalah sesuatu yang khusus, bukan mahasiswa kalau tidak nongkrong di kafe, atau tempat-tempat yang memasang gambar jaringan dan bertuliskan free wifi.

Itu hanya contoh kecilnya saja. Tak apa, selama merantau aku tahu, membanding-bandingkan menjadi tidak asik ketika didengar oleh orang lain, itu hanya membuat kita dilihat sebagai manusia yang kurang bersyukur –lalu aku apa sepanjang tulisan ini?–

Seperti kata temanku dulu yang pernah aku kirimi pesan bahwa kotanya sekarang tidak lebih baik dari kotaku, ia membantah denan tegas, “Setiap kota punya ceritanya masing-masing.”

Dan aku sependapat, “Semua jenjang pendidikan mempunyai ceritanya masing-masing.” Meskipun aku tahu, tidak mudah melupakan jenjang sekolah yang penuh ketololan dan kedunguan yang ditanggung bersama-sama.

2 komentar: