Senin, 23 September 2013

Pada Kalimat-kalimat yang Begitu Bodoh


 Denganmu, aku jadi orang paling beruntung.
Denganmu, semua tidak sia-sia.
Denganmu, tawa menjadi lebih nyaring dari biasanya.
Denganmu, senyum menjadi lebih mengembang dari biasanya.
Denganmu, aku jadi tidak biasa.
Denganmu, waktu begitu terasa cepat.
Denganmu, makanan apapun jadi enak.
Denganmu…
Denganmu, aku berani bermimpi.
Denganmu… aku bahagia.

Tapi, itu dulu.

Aku pernah menyalakan lilin dan memberikannya untukmu berjalan. Jauh sekali sampai kamu tidak lagi terlihat, dan membawa lilin tersebut. Jauh… Jauh sekali.

Na’as, aku hanya punya satu lilin, dan hari pun mulai gelap, sementara tidak ada yang aku kenal disini. Aku sendirian. Tanpa lilin, tanpamu yang aku tahu tak lagi pernah kembali. Padahal, Aku hanya butuh satu: ketika aku memberimu lilin saat gelap, kamu pun juga akan melakukan hal itu. Tapi, tapi dan hanya tapi, kamu tidak seperti harapanku.

Pada akhirnya.
           
            Kamu terus berjalan. Lilin tadi telah enyah. Aku tahu, hari sudah terang, dan kau buang lilin itu, setelah tak ada gunanya lagi. Lilin tadi tertidur, tanpa daya tentunya. Dan aku, tetap sendirian, meski hari sudah terang. Aku merasa… ini masih gelap.

Denganmu, aku merasa tidak dibutuhkan.
Denganmu, aku merasa kamu selalu berontak.
Denganmu, aku merasa kebosanan telah banyak menyelimuti kita.
Denganmu, aku selalu bertanya, tanpa ada jawaban.
Denganmu, yang pasti menjadi tidak pasti.
Denganmu, gelisah dan resah akrab membunuh kita perlahan.
Denganmu, hatiku jadi begitu tersamar.
Denganmu, aku merasa… tidak sama lagi.

Itu sekarang.

            Lalu, apakah pecundang yang namanya hanya tertera pada akta kelahiran bisa bahagia? Tentu iya. Tapi, aku selalu merasa ada yang kurang, entah apa, entah itu karena kamu, atau aku yang berlebihan.
            Persetan, aku benar-benar dipecundangi.
Aku bagai bedebah yang benar-benar bodoh.
Ah sudahlah…

Ini sekarang.
Bukan dulu.
           
            Bukankah, kebahagiaan itu banyak?
            Lalu, biarkan pecundang ini membuktikan kalau ia bisa bahagia, tanpa kamu tentunya.

Nanti.
Suatu masa yang akan datang.

            Kamu akan lihat aku tertawa.
Kamu akan lihat aku tersenyum.
Kamu akan lihat aku begitu riang.
Jauh… Jauh lebih hebat dari dahulu.
Kamu akan lihat, bahwa aku bukan lagi pecundang.

Tapi tenang.
           
            Kita tidak akan pernah saling membenci. Aku bisa pastikan, TIDAK AKAN PERNAH.

Kita hanyalah manusia-manusia yang penuh kesalahan dan kebodohan dengan kesendirian. Jadi, aku tidak mau membuat diriku makin bodoh dengan banyak menjauhi orang-orang, termasuk kamu.

Aku hanyalah satu kata dari banyaknya kata yang menjuntai sampai halamannya tak terhingga. Halaman-halaman itu tidak akan lengkap jika satu kata saja hilang. Jadi, walaupun kamu telah pergi, aku tetap menjadikanmu kata-kata itu, tentunya dalam artian lain yang sudah tidak lagi digaris bawahi ataupun kata yang dilihat berkali-kali.

Entah.

Beberapa tahun lagi, kita sudah sama-sama saling menjauh. Kita lupa, lupa dengan masa lalu. Lupa bahwa kita pernah menyakiti ataupun disakiti. Tapi, terlepas dari itu semua, ada saja hal yang akan membuatmu ingat kembali. Semoga, semoga saja kalau masa itu datang. Aku masih terekam di memorimu. Anggap saja, itu sebuah kenangan, atau kalau kamu mengganggapnya sampah, itu terserah.
           
Pada kalimat-kalimat yang begitu bodoh.
Aku minta maaf sepenuhnya.

End.

6 komentar:

  1. Tidak perlu membenci dan melupakan karena itu merupakan bagian dari proses hidup yang memperkaya jiwa.

    BalasHapus
  2. mantap banget kata2nya gan, bagus nih aku pakai belajar nulis dengan kalimat yang indah :D
    ini pengalaman pribadi ya?? ato kisah orang lain? kayaknya dalem banget...
    oiya gan, aku followers #136, jgn lupa follback ya... ^^b
    salam blogger...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sobat.
      Hahahahaha, pengalaman akan berbicara lebih banyak bukan? :))

      Hapus
  3. Kata tiap kata bikin merinding, ajarin dong kak biar bisa nulis kaya gini

    BalasHapus