Karena awalan ‘dear, ayah’ atau ‘untuk,
ayahku tercinta’ sudah terlalu biasa.
Untuk
pengantar setiaku selama dua belas tahun.
Aku
tahu ayah lelah, maafkan aku yang selama ini tidak mau belajar kendaraan,
hingga setiap pagi engkau harus mengantarku di balik kemudi motor butut dan menghabiskan
lima belas menit setiap harinya.
Aku mencoba mengkalkulasi, jika
dulu aku masih SD, dan ayah menghabiskan waktu sepuluh menit untuk mengantar,
maka andaikan setahun ada 300 hari (sudah dipotong hari libur dan beberapa kali
aku sakit), maka ayah sudah menghabiskan 18000 menit untuk mengantarku.
Lalu aku melanjutkan studi ke SMP, butuh lima belas menit untuk sampai ke sekolah, jika dihitung-hitung, maka ayah sudah menghabiskan waktu 13500 menit, dan 13500 menit itu juga berlaku ketika aku menginjak SMA, karena SMAku tidak jauh dengan SMPku.
Total, telah ayah habiskan sekitar 45000 menit yang ayah punya hanya untuk mengantarku, itupun belum termaksud kalau aku ada acara jauh sampai ke Jakarta ataupun kota lainnya.
Aku memang lelaki yang tak tahu diri, sudah besar masih saja diantar. Tapi, kalian mau mengataiku apa, hah? Ayahku saja hanya diam di balik kemudinya, sembari membilangi beberapa kali kalau suatu saat nanti, aku akan berada di posisinya juga.
Dari
peristiwa itu, aku belajar dari engkau, tentang keikhlasan, pengorbanan, tanggung
jawab tanpa kenal pamrih atau mengeluh. Padahal bisa saja engkau memaksaku
untuk naik motor dan bepergian begitu, tapi aku tahu, engkau bukan pribadi yang
seperti itu.
Engkau
pernah berkata, baru beberapa minggu yang lalu ketika aku gagal masuk perguruan
tinggi, ‘ayah gak bisa maksa kamu nurutin permintaan ayah, tapi, kalau suatu
saat nanti kamu sukses dan besar, tengoklah sebentar ayahmu yang dua puluh
tahun lagi sudah jadi kakek-kakek’
Aku
menangis saat itu juga.
Untukmu,
segalanya.
Pendek
saja, karena dari sekian kenangan yang kususun bersama engkau, aku tak bisa
menemui kata-kata yang ringkas untuk menulis, pendeknya, aku hanya bisa
mengucap terima kasih dan mendoakan engkau agar pengorbananmu berbuah surga
yang indah.
Yah,
beberapa hari lagi aku mengikuti tes perguruan tinggi untuk yang kesekian
kalinya, antarkan aku sekali lagi, hingga aku merasakan bagaimana tinggal di
kota lain, hidup tanpa engkau dan mamah, sungguh, aku siap untuk itu, aku sudah
belajar tentang kerja keras dan mandiri yang diam-diam kucuri dari genmu.
Atas,
kesetiaan selama delapan belas tahun dan cinta seumur hidupmu.
Atas,
hal-hal kecil yang terlewatkan, atau hal besar yang terabaikan.
Atas
kesalahanku yang membuatmu mendesah bahkan menangis.
Atas
perilakuku yang merepotkan.
Dan
jauh di atas segalanya.
Aku
mencintai engkau dari shubuh menjelang hingga kembali lagi, begitu terus sampai
aku mati, meski aku belum pernah bertatap muka, dan berbicara langsung tentang
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar