Sabtu, 20 September 2014

Jogja dan Beberapa Imaji yang Belum Dibersihkan.



            20 September 2014.

Perjalanan terbaik adalah ketika memandang dunia dari balik jendela kendaraan, meski itu kendaraan yang paling kubenci: bis.

Bis punya sejarah sendiri mengapa ia sangat kubenci: salah satunya adalah, ia yang selalu menjadi saksi kepergian, kedatangan, dan air mata. Cerita-cerita di dalam bis pun seolah tak lekang dimakan zaman, meski aku juga membenci kenangan yang tercipta bersamanya, tentang perempuan berkerudung yang duduk di belakang sana. Ataupun perempuan berwajah putih dengan rambut ekor kuda dan sejumput rambut tipis yang jatuh di depan telinganya. Atau yang lebih membuatku benci adalah kenyataan aku pernah berbagi cerita masa lalu dan masa depan bersama sahabat. Dan mereka akan menjalani hidupnya sendiri-sendiri.

***
          Pagi-pagi, gue berangkat, dengan bis seadanya –karena duit kita miniiiim–. Semangat membara dan berkoar. AUUUWOOO…

Perjalanan pagi di-skip karena gue melewatkan banyak bagian sebab antimo bekerja begitu hebatnya, begitu superior hingga mampu menguasai tubuh gue, dan teparlah selama perjalanan.

Hari itu, kami –Lembaga Pers Mahasiswa Natural jurusan Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta– #busetkuranglengkapapacoba! Mengadakan kunjungan ke Tribun Jogja, selanjutnya ke LPM Balairung UGM.

UGM, iya UGM!

Kampus yang pernah gue tolak! (GUE ULANGIN LAGI!, KAMPUS YANG PERNAH GUE TOLAK!)

*menangis-di-pojokan*

Sebenernya, kampus yang pernah nolak gue tiga kali.

Total kunjungan pers selesai jam tiga. AUWWWWOOO. Dan kami berangkat ke Malioboro. Iye, Malioboro yang-setiap-ke-Jogja-pasti-kesana-bedanya-kali-ini-gak-beli-apa-apa-karena-tahu-masih-lama-di-Solo-dan-kapan-aja-bisa-main-ke-Jogja.

Oke, gue akan kasih tahu bagian terbaik dan perjalanan ini:

Jam enam sore. Gue jalan-jalan di trotoar sendirian. Kenapa sendirian? Sederhana, gue lebih nikmatin semua perjalanan dengan jalan kaki sendirian, ada perasaan yang ya-gitu-deh, gak bisa dijbarin.

Lagu berputar: KLA Project, Jogjakarta.

Sialan, mimpi memang selalu menjadi fragmen yang pantas untuk ditangisi keberadaannya. Kayaknya, baru beberapa bulan yang lalu gue berjuang dan berkorban (baiklah, kita semua sama-sama tahu tentang bagaimana berjuang dan berkorban, tidak usah diumbar, ia datang dari diri sendiri dan untuk diri sendiri).

Tak apa, gue tetep yakin sampai saat ini Tuhan masih menjadi sutradara paling handal di seluruh alam semesta. Ia lebih hebat memainkan twist, pandai membelokkan cerita, teliti di setiap kejanggalan, dan… memberikan yang terbaik.

Lagu berputar: Ruth Sahanaya, Andaikan Kau Datang Kembali.

Nah ini dia yang paling bajingan dari perjalanan kali ini. Gue duduk di belakang becak berwarna merah yang bagian pedalnya udah copot, tinggal besinya aja disitu. Ngeliatin kendaraan lalu-lalang, dan terciptalah sebuah imajinasi: gue jalan-jalan di trotoar, di samping gue ada perempuan yang lagi nyetel lagu-lagu-yang-gak-pernah-gue-kenal. Kami tenggelam dalam dunia kami masing-masing: membaca novel. Dan dalam kesibukan mengimajikan tulisan didalamnya. Kami seperti ada di satu dunia yang orang lain hanya tinggal semementara dan malamnya pergi entah kemana. Dan Jogja, menjadi saksi akan itu.

PLUNG. Tahi jatuh ke peraduan.

Gue ngayal lagi kan tuh. Sudahlah, yang penting bagian terbaik lainnya (duh, perjalanan kemarin semuanya bagian terbaik cuy!) adalah saat perjalanan pulang, gue bisa ngeliatin pemandangan dari balik jendela ditemani teman-teman yang menyanyikan seabrek-abrek lagu Peterpan.

Terima kasih perjalanannya.

Terima kasih kenangannya.


1 komentar:

  1. Jalan di terotoar sendirian, kenapa sendirian?
    soalnya gw jomblo.. eh...

    BalasHapus