Jumat, 13 Maret 2015

Pencerita Mulut



            Dalam sebuah ruang, terkumpullah beberapa orang yang tengah mengadakan suatu kegiatan. Mereka berbicara ngalor-ngidul tak tentu arang. Rencana-rencana mempercepat pertemuan demi keefektivitasan terhadap waktu gagal total alias hasrat untuk berbasa-basi masih terasa dalam ruangan itu. Alih-alih menajamkan pemikiran dan paham mengenai acara dan rencana yang akan dibuat, orang-orang di ruangan tersebut malah sibuk mengenalkan bagaimana cara berbasa-basi yang egistis dan absurd.

Dalam sebuah ruang, terkumpullah beberapa orang yang tengah mengadakan suatu kegiatan. Mereka sibuk unjuk mulut dengan saling berbeda pendapat, sah-sah saja berdebat, dan tidaklah salah mengenalkan beberapa opini karena ketidaktahuan memang sumber paling realistis bagi ketidaktahuan dan kedunguan. Tapi, alangkah membosankannya kegiatan itu ketika yang tidak pintar mempermainkan mulut tidak kunjung diajak bicara dan mereka hanya sibuk memendam tangan mereka demi mengutak-atik ponsel yang tidak ada pesan sehingga mereka hanya terus melakukan kegiatan yang repetitif; buka tutup kunci.

Dalam sebuah ruang, terkumpullah beberapa orang yang semakin sedikit untuk membincangan kegiatan. Beberapa orang terlihat seperti sangat linglung dan pikirannya penuh dengan kalkulasi berapa waktu yang terbuang sia-sia. Para pencerita mulut itu, memang sangat ditunggu kebijaksanaannya dalam menempatkan peran diantara pelbagai jenis manusia dalam suatu kelompok. Ketika para pencerita mulut tak mampu lagi menahan laju gerak lidaknya, tak pelak suatu kesakitan dan serangan moral akan lahir dari situ. Sebab, memang dalam setiap perkumpulan, akan melahirkan dua manusia hebat; pertama adalah orang yang dapat menahan bicaranya, dan kedua adalah sang pendengar yang tahan mendengar ucapan orang lain. Ironinya, setiap pertemuan juga akan memupuk bakat lahiriah seseorang; pertama adalah eksistensi yang coba direnggut dengan terus bicara yang makin ke menit berikutnya makin omong kosong, dan kedua adalah orang yang sibuk menata hatinya karena terlalu banyak terluka sebab orang pertama.

Dalam sebuah artikel yang mengutip perkataan Albert Camus mengenai pandangan tentang kematian. Camus menggambarkan bagaimana kematian orang lain biasanya tidak berdampak apa-apa bagi seseorang. Kematian baru menyentuh perasaan manusia ketika kematian itu berhubungan dengan dirinya sendiri secara langsung. (via mojok.co)

Hal ini kurang lebih sama apabila disandingkan dengan pernyataan, ‘kepedihan seorang pendengar baru menyentuh perasaan ketika sang pembicara mengucapkan kata-kata sarkas yang berhubungan dengan dirinya secara langsung’.

Barangkali, memang tidak setiap orang tahu bagaimana para rekannya bekerja, dan tidak setiap orang tahu bagaimana para rekannya bersusah payah membangun jaringan guna keberlangsungan perkumpulan yang lebih baik. Tapi, alangkah indahnya, jika seseorang tahu bahwa rekan-rekannya terus mencoba melakukan yang terbaik, bahkan ketika ia diam, siapa yang tahu kalau ia tengah memikirkan ide brilian yang akan membuat perkumpulan menjadi lebih baik?

Oia, dan konon, orang yang menghargai jerih payah dan kerja keras orang lain adalah salah satu spesies yang terancam punah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar