Dalam sebuah ruang, terkumpullah
beberapa orang yang tengah mengadakan suatu kegiatan. Mereka berbicara ngalor-ngidul tak tentu arang.
Rencana-rencana mempercepat pertemuan demi keefektivitasan terhadap waktu gagal
total alias hasrat untuk berbasa-basi masih terasa dalam ruangan itu. Alih-alih
menajamkan pemikiran dan paham mengenai acara dan rencana yang akan dibuat,
orang-orang di ruangan tersebut malah sibuk mengenalkan bagaimana cara
berbasa-basi yang egistis dan absurd.
Dalam
sebuah ruang, terkumpullah beberapa orang yang tengah mengadakan suatu
kegiatan. Mereka sibuk unjuk mulut dengan saling berbeda pendapat, sah-sah saja
berdebat, dan tidaklah salah mengenalkan beberapa opini karena ketidaktahuan
memang sumber paling realistis bagi ketidaktahuan dan kedunguan. Tapi, alangkah
membosankannya kegiatan itu ketika yang tidak pintar mempermainkan mulut tidak
kunjung diajak bicara dan mereka hanya sibuk memendam tangan mereka demi mengutak-atik
ponsel yang tidak ada pesan sehingga mereka hanya terus melakukan kegiatan yang
repetitif; buka tutup kunci.
Dalam
sebuah ruang, terkumpullah beberapa orang yang semakin sedikit untuk
membincangan kegiatan. Beberapa orang terlihat seperti sangat linglung dan
pikirannya penuh dengan kalkulasi berapa waktu yang terbuang sia-sia. Para
pencerita mulut itu, memang sangat ditunggu kebijaksanaannya dalam menempatkan
peran diantara pelbagai jenis manusia dalam suatu kelompok. Ketika para
pencerita mulut tak mampu lagi menahan laju gerak lidaknya, tak pelak suatu
kesakitan dan serangan moral akan lahir dari situ. Sebab, memang dalam setiap perkumpulan,
akan melahirkan dua manusia hebat; pertama adalah orang yang dapat menahan
bicaranya, dan kedua adalah sang pendengar yang tahan mendengar ucapan orang
lain. Ironinya, setiap pertemuan juga akan memupuk bakat lahiriah seseorang;
pertama adalah eksistensi yang coba direnggut dengan terus bicara yang makin ke
menit berikutnya makin omong kosong, dan kedua adalah orang yang sibuk menata
hatinya karena terlalu banyak terluka sebab orang pertama.
Dalam
sebuah artikel yang mengutip perkataan Albert Camus mengenai pandangan tentang
kematian. Camus menggambarkan bagaimana kematian orang lain biasanya tidak
berdampak apa-apa bagi seseorang. Kematian baru menyentuh perasaan manusia
ketika kematian itu berhubungan dengan dirinya sendiri secara langsung. (via
mojok.co)
Hal
ini kurang lebih sama apabila disandingkan dengan pernyataan, ‘kepedihan
seorang pendengar baru menyentuh perasaan ketika sang pembicara mengucapkan
kata-kata sarkas yang berhubungan dengan dirinya secara langsung’.
Barangkali,
memang tidak setiap orang tahu bagaimana para rekannya bekerja, dan tidak
setiap orang tahu bagaimana para rekannya bersusah payah membangun jaringan guna
keberlangsungan perkumpulan yang lebih baik. Tapi, alangkah indahnya, jika seseorang tahu bahwa rekan-rekannya
terus mencoba melakukan yang terbaik, bahkan ketika ia diam, siapa yang tahu
kalau ia tengah memikirkan ide brilian yang akan membuat perkumpulan menjadi
lebih baik?
Oia,
dan konon, orang yang menghargai jerih payah dan kerja keras orang lain adalah
salah satu spesies yang terancam punah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar