Minggu, 29 Desember 2013

111 Menit.


Namanya Debur Ombak Selatan.
Oke, orangtua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan?
Hei! Kau percaya ada anak bernama seperti itu?

Lihat saja, kuno, kampungan, padahal nama adalah sebuah pengharapan, impian, dan apa yang hendak dicapai di masa depan nanti. Orang tuanya mungkin sewaktu sembilan bulan di beri kesempatan, tidak membaca buku tentang nama bayi dan artinya.

Hei! Itu kan katamu. Kataku berbeda, karena aku yang mengalami kisahnya.

Aku yang mencintainya dalam diam dan gelap yang meremang. Aku yang menyayanginya selama 12 jam tiap pagi dan malam dan berulang-ulang terus setiap hari. Aku yang merindunya kala dekut burung camar mati semua gara-gara polusi, dan tidak tersampaikanlah pesanku padanya.

Padahal, aku masih saja terus menunggunya, di pinggir pantai yang pasir putihnya halus menyentuh kulitku sampai batas pergelangan kaki. Aku yang rela dipanggang matahari hingga kulitku memanas dan menghitam.

“Selamat pagi, Laut.”

Air biru yang ada di hadapanku masih tetap tenang, padahal setiap hari kusapa dan kuberi doa untuknya dan juga apa yang sedang berjalan di atasnya.

“Apakah ada pesan dari sang Ombak?”

Dengan terhuyung-huyung, sebuah pesan yang dibungkus rapi dalam botol kecil berwarna biru langit meragu di kejauhan, mau tak mau datang ke tepian. Aku masih menunggu dengan cemas, apakah botol itu sampai atau tidak.

Setelah sekian hari aku menunggu, duduk karena kelelahan, minum air laut karena kehausan, makan garam karena benar-benar kelaparan. Botol itu sampai dengan beberapa titir air laut setiap hari memandikannya.

Kubuka sebuah gabus berwarna krem yang menutupi botol tersebut, lalu dengan satu tarikan napas yang panjang, kuambil surat yang ada di dalamnya dan membacanya dengan lamat-lamat.

Untuk perempuanku di kejauhan.
Kau bisa pergi sekarang, mungkin aku tidak akan kembali lagi.
Kulihat, awan kelabu dan petir-petir yang menggelegar di depan sana. Kawanku, ombak yang tak bisa berbicara menggulung-gulung setinggi dua meter, kapalku terombang-ambing, dan navigatorku beserta awak lainnya dengan tega mengkhianatiku dan pergi membawa sekoci yang cuma satu.
Aku hampir-hampir putus asa.
Tapi mengingatmu, seperti cahaya dalam gulita, aku akan terus berjuang melawan badai ini. Demi menemukanmu yang sedang menanti dengan muka resah.
Kau boleh pergi sekarang, berisitirahat sejenak di rumahmu, tidur di kasur yang enak sembari menyiapkan segala perlengkapan lamaran.
Aku akan datang dalam beberapa hari dan langsung saja kita ucapkan janji suci.
Tunggu aku kalau kau mau.
Itupun jika aku masih selamat, doakan saja, karena aku tidak pernah bisa meramal masa depan.
Salam.
Debur Ombak Selatan.

Aku pulang ke rumah, menyiapkan segala hal yang berbau lamaran. Seminggu kemudian setelah persiapan selesai, aku menunggumu dengan gaun putih yang pasti kamu suka. Dengan senyum yang mengembang, kurasa kau beberapa hari lagi akan pulang.

Di kejauhan, Debur Ombak Selatan benar-benar dilalap habis dengan sang temannya, ombak yang bergeming, petir menghantam kapalnya hingga karam di sebuah pulau antah-berantah, awan kelabu beenar-benar menghantarkannya pulang, bukan ke rumah, melainkan ke surga

Aku masih menunggumu, dalam pias matahari yang membuat pipiku merona merah, dalam hitungan hari yang masih saja sama seperti sebelumnya, apakah kita masih bisa bertemu dan bahagia dengan janji kita?
***
            111 menit telah selesai diputar.

Aku sesenggukan, menghapus beberapa kali bulir air mata yang keluar dari pelupuk yang memerah.

“Yailah bro, cowok kok nangis,” ucap sahabat perempuanku yang menangis lebih hebat lagi.

Aku berdiri, berjalan ke luar bioskop diikuti sahabatku, dan ketika mataku melihat sekeliling. Semua orang benar-benar diperah air matanya.

Film yang mengharukan, batinku tak percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar