Ketika, gue nulis review ini, gue
lagi duduk di Jalan Malioboro, sambil mata lirik sana-sini, gue berusaha
konsentrasi buat nulis ulasan singkat ini.
Judul: Dari Hari Ke Hari
Penulis: Mahbub Djunaidi
Penerbit: Surah Sastra Nusantara
Tebal: 164 halaman.
BIG
THANKS FOR BANG DEDIK PRIYANTO.
Dia
yang udah ngasih novel karangan Mahbub Djunaidi yang super-duper-mega-giga
keren ini, sungguh, dalam hidup gue, pertama kalinya, gue bener-bener ngerasain
atmosfer setting tempat dari sebuah novel.
Gimana
engggak? Sekitar dua puluh lima halaman pertama yang menceritakan tokoh aku tengah
berangkat dari Jakarta ke Solo dengan naik kereta. Pas gue baca, gue juga lagi
di kereta menuju Stasiun Balapan. Dan yang lebih mengesankan, ketika gue mulai
ngelanjutin baca tuh novel, pas banget gue lagi di kota Solo, pas-pas yang lain
juga terjadi di Stasiun Purwosari, Keraton dan Balai Kota. OH, sungguh
pengalaman yang terlalu naif jika gue berkata biasa-biasa aja ah.
Mengenai
cerita dan plot, gue angkat jari alias gak bisa komentar apa-apa. Lubuk hati
gue bertanya-tanya, ini fiktif apa bukan
sih? Beneran, buat novel setebel kira-kira 164 halaman, gaya berceritanya
sungguh mengalir dan memikat, meski gue ngerasain kebosenan ketika sampai di
tengah cerita, namun semuanya terobati dengan konflik-konflik yang dapet
banget.
Belum
lagi humor-humor kampret yang diselipin di beberapa bagian. Yah, harus gue
akuin, gue sempet ketawa kepingkal-pingkal.
“Kekecualian hanya berlaku buat si Kakus,
kambing yang paling kusayang karena paling dungu dan sangat rakus, berdaging
gempal pada buntutnya, yang tak keberatan mengganyang kertas koran ataupun
tumbuhan berduri, bahkan sekali dua menelan tahinya sendiri.”
Halaman 7.
“Kegoncangan yang sesungguhnya datang
tatkala adikku meronta-ronta bukan saja minta makan, melainkan mau berak.”
Halaman 10
Tapi, di sisi lain, satir-satir yang
disajikan cukup membuat gue berpikir sejenak lalu mengangguk setuju.
“Kupikir hanya orang berumur yang tak suka
binatang, artinya memelihara. Mereka cuma suka menggiring makhluk itu ke atas
piring nasinya.”
Halaman 38
“Temanku Gazali bagaimanapun harus mengerti,
aku ini anak-anak republik, yang bagaikan porselin di tengah pecahan beling, anak-anak
di Jakarta itu.”
Halaman 131
Secara
kisahnya tentang revolusi dan agresi Belanda sehabis masa kemerdekaan, gue gak
mau banyak komentar, takut-takut salah kaprah dan dianggap orang yang beropini
secara tidak bijak, gue hanya mafhum dan mengerti, kalo gue hanya bisa ngasih
keempat jempol gue dengan senyuman yang lebar.
Tapi
yang paling gue suka disini adalah si tokoh aku, sebagai anak ulama besar, ia
sangat bandel dan banyak bertanya mengenai peristiwa-peristiwa yang kebanyakan
anak-anak seumurnya hanya bisa bergosip yang berkesudahan dengan bodo amat.
Berikut
ini, gue kasih paragraf terbaik selama gue baca novel ini.
“Persis. Tuan tahu sebabnya?
Pertama saya ditangkap Belanda di daerah pendudukan karena disangka mata-mata.
Kedua saya ditangkap republik karena disangka mata-mata. Tentu memang ada
mata-mata dua muka, seperti di buku-buku itu, bukan? Tapi saya bukan mata-mata,
saya tak lebih dari pedagang ban mobil. Lagi pula, pekerjaan mata-mata selain
hina juga terlalu gampang, Jual ban mobil di masa sekarang ini jauh lebih sulit
dan penuh bahaya dan memerukan bakat. Saya pribadi suka pekerjaan yang perlu
bakat, maaf bukan sombong, Tuan. Ha ha ha.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar