Selasa, 06 Mei 2014

Butukutubutukutubuku: Dari Hari Ke Hari


            Ketika, gue nulis review ini, gue lagi duduk di Jalan Malioboro, sambil mata lirik sana-sini, gue berusaha konsentrasi buat nulis ulasan singkat ini.

 Judul: Dari Hari Ke Hari
Penulis: Mahbub Djunaidi
Penerbit: Surah Sastra Nusantara
Tebal: 164 halaman.

BIG THANKS FOR BANG DEDIK PRIYANTO.

Dia yang udah ngasih novel karangan Mahbub Djunaidi yang super-duper-mega-giga keren ini, sungguh, dalam hidup gue, pertama kalinya, gue bener-bener ngerasain atmosfer setting tempat dari sebuah novel.

Gimana engggak? Sekitar dua puluh lima halaman pertama yang menceritakan tokoh aku tengah berangkat dari Jakarta ke Solo dengan naik kereta. Pas gue baca, gue juga lagi di kereta menuju Stasiun Balapan. Dan yang lebih mengesankan, ketika gue mulai ngelanjutin baca tuh novel, pas banget gue lagi di kota Solo, pas-pas yang lain juga terjadi di Stasiun Purwosari, Keraton dan Balai Kota. OH, sungguh pengalaman yang terlalu naif jika gue berkata biasa-biasa aja ah.

Mengenai cerita dan plot, gue angkat jari alias gak bisa komentar apa-apa. Lubuk hati gue bertanya-tanya, ini fiktif apa bukan sih? Beneran, buat novel setebel kira-kira 164 halaman, gaya berceritanya sungguh mengalir dan memikat, meski gue ngerasain kebosenan ketika sampai di tengah cerita, namun semuanya terobati dengan konflik-konflik yang dapet banget.

Belum lagi humor-humor kampret yang diselipin di beberapa bagian. Yah, harus gue akuin, gue sempet ketawa kepingkal-pingkal.

Kekecualian hanya berlaku buat si Kakus, kambing yang paling kusayang karena paling dungu dan sangat rakus, berdaging gempal pada buntutnya, yang tak keberatan mengganyang kertas koran ataupun tumbuhan berduri, bahkan sekali dua menelan tahinya sendiri.
Halaman 7.

Kegoncangan yang sesungguhnya datang tatkala adikku meronta-ronta bukan saja minta makan, melainkan mau berak.”
Halaman 10

       Tapi, di sisi lain, satir-satir yang disajikan cukup membuat gue berpikir sejenak lalu mengangguk setuju.

Kupikir hanya orang berumur yang tak suka binatang, artinya memelihara. Mereka cuma suka menggiring makhluk itu ke atas piring nasinya.”
Halaman 38

Temanku Gazali bagaimanapun harus mengerti, aku ini anak-anak republik, yang bagaikan porselin di tengah pecahan beling, anak-anak di Jakarta itu.”
Halaman 131

Secara kisahnya tentang revolusi dan agresi Belanda sehabis masa kemerdekaan, gue gak mau banyak komentar, takut-takut salah kaprah dan dianggap orang yang beropini secara tidak bijak, gue hanya mafhum dan mengerti, kalo gue hanya bisa ngasih keempat jempol gue dengan senyuman yang lebar.

Tapi yang paling gue suka disini adalah si tokoh aku, sebagai anak ulama besar, ia sangat bandel dan banyak bertanya mengenai peristiwa-peristiwa yang kebanyakan anak-anak seumurnya hanya bisa bergosip yang berkesudahan dengan bodo amat.

Berikut ini, gue kasih paragraf terbaik selama gue baca novel ini.

“Persis. Tuan tahu sebabnya? Pertama saya ditangkap Belanda di daerah pendudukan karena disangka mata-mata. Kedua saya ditangkap republik karena disangka mata-mata. Tentu memang ada mata-mata dua muka, seperti di buku-buku itu, bukan? Tapi saya bukan mata-mata, saya tak lebih dari pedagang ban mobil. Lagi pula, pekerjaan mata-mata selain hina juga terlalu gampang, Jual ban mobil di masa sekarang ini jauh lebih sulit dan penuh bahaya dan memerukan bakat. Saya pribadi suka pekerjaan yang perlu bakat, maaf bukan sombong, Tuan. Ha ha ha.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar